Sentuhan Antar Wanita
Aku memiliki tetangga baru. Lima rumah dari samping rumahku. Sore ini pada pukul 5, tetangga baru itu mengundang para tetangga di sekitarnya untuk minum teh bersama. Mungkin maksudnya sebagai acara perkenalan sebagai warga baru di kompleks perumahan di mana aku tinggal.
Pada saat aku hadir, sudah hadir beberapa ibu-ibu di sana. Bu Indri, demikian memperkenalkan dirinya padaku, menjemputku di pintu. Dipeluknya aku, mencium pipi kiri dan pipi kanan.
‘Terima kasih Bu Marini, ibu telah sudi menghadiri undangan kami. Ohh, ibu cantik sekali dan sangat seksi..’, demikian dia ucapkan terimakasihnya atas kedatanganku.
Kalimat yang pertama merupakan ucapan yang biasa dan diucapkan secara biasa pula, dimana para tetamu sebelumnya ikut mendengar ucapan Bu Indri itu. Tetapi pada kalimat berikutnya, Indri, demikian selanjutnya aku dan dia sepakat untuk saling memanggil nama saja, dia ucapkan dengan berbisik dengan lebih melekatkan bibirnya ke telingaku, hingga kurasakan hembusan nafasnya yang menyapu daun telingaku. Kalimat macam itu, walaupun aku berbunga-bunga mendengarnya, tetapi tidak lazim diucapkan dalam pertemuan pertama untuk saling berkenalan.
Aku mengucapkan terima kasih kembali. Dan kami langsung saling pandang. Aku merasakan pandangan Indri yang tajam. Saat itu aku sedikit kagok, tidak tahu mesti bersikap bagaimana, kecuali cara yang sebagaimana lazimnya, menunjukkan perasaan senang bertemu dengan kenalan baru.
Saat duduk, aku perhatikan tetangga baru ini. Indri, suaminya adalah pelaut kapal pesiar milik perusahaan Amerika. Kapalnya 6 bulan sekali merapat di Tanjung Priok. Artinya Indri hanya dapat bertemu dan berkumpul dengan suaminya dua kali setahun setiap 6 bulan sekali. Koq tahan ya ..
Sepintas dengan nada-nada humor yang mudah ditangkap telinga para tamu, Indri menceritakan kehidupannya, keluarganya, suaminya hingga hobbynya. Sebagai wanita yang cukup berpendidikan, S1 Sosial Politik dari UI, dia senang mengatur rumah.
Kuperhatikan, rumahnya yang relatif kecil ini, type 76 BTN, dia atur dengan sangat pas. Artinya tidak berlebihan, tetapi juga tidak kurang. Dia menempatkan ruang makan menyatu dengan dapur. Dan kitchen set pada dapur itu, nampak ‘elegan simplicity’. Meja dapurnya yang beralaskan batu oniq, terkesan bukannya memamerkan kekayaan, tetapi lebih menekankan fungsinya sebagai landasan pemotong sayur yang hygienis.
Untuk ruang tamunya dia pilih mebel gaya Raffles dengan kayu jati tanpa politur kecuali cukup dengan semir, hingga terkesan tua dan elegan pula. Tetapi pada dindingnya kulihat reproduksi yang mahal dari lukisan Bunga Matahari karya Van Gogh. Dia bilang itu pembelian suaminya saat mampir ke Paris. Setahuku, walaupun itu reproduksi, harganya tidak kurang dari US$ 5.000,00 atau sekitar 40 juta rupiah. Sungguh menunjukkan selera seni yang cukup hebat bagi keluarga ‘awam’ seperti keluarga Indri ini. Aku sungguh respek pada seleranya itu.
Indri sendiri menunjukkan pribadinya yang hangat. Usianya kuperkirakan tidak lebih dari 25 tahun, namun nampak matang dan cerdas. Dia selalu tersenyum pada lawan bicaranya. Manis. Pipinya ada cekung kecil saat melepas senyumannya. Dia mendatangi satu persatu tamunya tanpa membeda-membedakan. Dia senang memulai pembicaraan, seakan semua yang hadir telah akrab baginya. Dengan kelincahannya itu, dan ditunjang pula dengan postur tubuhnya yang ideal, tingginya sekitar 170-an dengan postur tubuhnya yang relatif langsing dan nampak sehat, Indri menjadi pribadi yang cukup menarik. Indri sangat manis dan sensual. Aku yakin libido para pria pasti mudah bangkit saat menghadapi perempuan macam Indri ini.
Dalam pertemuan minum teh sore itu, Indri telah menunjukkan dirinya sebagai tetangga yang hangat bagi kami semua. Semua yang hadir terkesan. Pada kesempatan itu beberapa kali kami saling bertemu pandang sebelum pada gilirannya dia mendekat duduk di sebelahku. Saat dia mendekat, dia ulangi lagi pujiannya padaku. Tetapi kali ini dia ucapkan dengan jelas di depan semua yang hadir. Tentu hal ini membuatku bangga.
Dia menanyakan bagaimana aku merawat kecantikanku, apakah dengan minum jamu, olah raga, makan sayur, fitness dan sebagainya. Dia ingin belajar dariku. Dia ingin datang ke rumahku. Silakan saja, jawabku. Dan tentu saja aku akan menyambut dengan senang apabila ia bersungguh-sungguh dengan keinginannya.
‘Mbak Marini, aku ingin main nih. tidak ngganggu yaa..’, sapanya suatu pagi saat aku ada di teras sedang menunggu tukang sayur lewat.
‘Eee.., Indri.., tidak kok.., ayoo masuk..’, kuajak dia masuk ke rumah.
Pagi itu Indri mengenakan celana jeans dengan blusnya yang pendek terangkat ke atas hingga menampakkan sedikit pusarnya. Dia ini tidak terlalu cantik sesungguhnya. Tapi.., aku yakin.., itulah yang namanya sensual..
‘Mau masak apa mbak?’, aku jawab bahwa aku suka sayuran. Setiap hari yang aku cari adalah sayuran, sambal, buah dan yang semacamnya.
‘Ooo, barangkali itu yang membikin Mbak Marini cantik sekali yaa..’.
‘Aah.., kamu terlalu memujiku’.
Aku agak kikuk juga. Sejak datang Indri terus mengamati diriku, seluruh bagian tubuhku, kakiku, betisku, pinggulku. Koq rasanya dia sedikit berlebihan. Sedemikian menyukai fisikku.
‘Aduh Mbak, jari-jari kakimu inii. Indah sekali sihh..’, sambil meraih kakiku, dibawa ke pangkuannya.
Dia amati, jari-jari lentiknya mengelus jari-jari kakiku. Oh, lembut sekali.., dimasukkannya jari-jarinya di antara jari-jari kakiku. Kemudian dia sedikit memilin-milin jari kakiku itu. Oohh.., aku jadi merinding. Pilinan jarinya koq halus sekali. Membuatku melayang. Dia dekatkan matanya seakan ingin mengamati kakiku lebih dekat.
‘Kuku Mbak kurapikan yaa.., jelek-jelek gini aku ahli manicure lho.., ntar kuambil peralatannya di rumah’.
Tanpa menunggu reaksiku, dia langsung bergegas balik ke rumahnya, mengambil peralatan manicure. Kelembutan sebuah sentuhan dan pilinan terputus. Aku menarik nafas saat melihat Indri melewati ambang pintu. Boleh juga, aku ingin belajar merawat kukuku, dan.., ah.., tidak tahulah aku..
‘Mbak Marini tahu Flo Jo khan, itu lho pelari putri Amerika yang menggondol medali emas Olimpiade.., lihat kuku dia mbak, dia rawat dan dia lukis, uh.., indah sekali ..’, di ruang tamuku, aku duduk di sofa sementara dia di karpet untuk memudahkan pekerjaannya, Indri nyerocos sambil mengutak-utik kukuku.
Dia mulai dengan jari-jari tanganku.
‘Kuku Mbak Mar, uh, serasi sekali sihh..’, nadanya seperti anak geregetan.
Aku tersenyum, dia juga tersenyum. Nampak begitu riang hatinya.
Tiba-tiba dicium dan dikulumnya jari-jariku, ‘Uuhh, aku tidak tahan kalau lihat jari-jari indah gini, nggak pa-pa ya Mbaakk? Habis indahnya kebangetan siihh..’, dia nampak geregetan sambil melepaskan gigitan kecil sebelum mengeluarkan jari-jari tanganku dari mulutnya.
Terus terang aku keheranan akan cara Indri mengungkapkan geregetan dan kekagumannya pada jari-jari tanganku, dan aku merasa merinding saat lidahnya melumat jari-jariku dalam mulutnya. Tetapi aku tidak menariknya, rasanya.., aku.., aku menyenangi perasaan merinding itu..??
Sesudah potongan tersebut dirapikan, alkohol membersihkan celah-celahnya, Indri kemudian mencat kukuku.
‘Ini seperti lukisan Jackson Pollock mbak, abstrak dan liar. Biar Mas Adit semakin cinta sama Mbak Mar ..’, katanya sambil tersenyum sehingga membuat pipinya ‘dekik’ itu.
Hebat.., Indri sangat ahli rupanya, tahu Jackson Polock segala. Aku senang dan tersanjung sekali. Apalagi sepanjang melakukannya, setiap kali memulai jari yang lain, selalu dia kecup terlebih dulu dengan bibirnya yang sensual itu.
‘Oohh.., kamu menyenangkan bangett..’.
Demikian pula saat Indri melakukan manicure pada jari-jari kakiku. Dia kembali mencium dan sesekali mengulum jari-jari kakiku. Aku jadi menikmati kuluman itu. Aku berlagak tak acuh dengan terus mengamati dan mengagumi “lukisan” Pollocknya di kuku tanganku. Kecupan dan terkadang jilatan dan kuluman Indri yang menikmati gregetannya pada jari-jari kakiku. Terus terang.., dengan sangat halus.., membangkitkan libidoku.., dan kemudian.. pelan-pelan.. merambati nafsu birahiku..
Ooohh rupanya begini rasanya jika perempuan disentuh oleh perempuan lain. Inikah birahi lesbian..? Normalkah Indri..? Atau benar-benar sekedar rasa geregeatan.., sebagaimana perasaan anak-anak perempuan pada boneka Barbie-nya..?? Aku tidak berani mengambil kesimpulan. Aku cenderung tidak berani berkesimpulan. photomemek.com Tetapi, halus sekali, kudengar nafas Indri, lidahnya itu, yang sudah terlalu menyimpang dari tujuannya untuk memanicure kukuku. Lidahnya menari-nari di antara celah-celah jari kakiku. Nafas Indri kudengar dengan halus.., memburu..
‘Mbakk.., hheehh.. Mbakk..’, kudengar juga desahan yang lembut sekali..
Aku, yang walaupun sudah sering mendengar adanya hubungan seksual sesama wanita atau lesbian itu, sungguh mati belum pernah mengalaminya.. aku benar-benar tidak mengerti beginikah cara hubungan itu. Apakah Indri seorang lesbian? Aku tidak atau belum bereaksi secara nyata, kecuali tetap menampakkan tak acuhku dengan tetap mengesankan bahwa aku mengagumi “lukisan” Pollocknya pada kuku jari-jari tanganku. Aku masih tetap ragu dan walaupun birahiku sendiri terus naik..
Mungkin ekspresi tak acuhku itu justru membuat Indri semakin ngelantur. Tidak lagi mengurus kuku kakiku. Kini aku merasakan tangannya sudah mulai mengelus betisku, dan sesekali meremas atau mencubit kecil. Dan desahannya semakin tak lagi disembunyikan, ‘Mbakk.., Mbak Marr.., kakimuu indahh sekalii.., ohh..’.
Pada saat itulah. Birahiku tiba-tiba meledak, ciuman lembut itu, jilatan-jilatan halus itu, remasan dan cubitan halus itu, ohh tak mampu kutahan lagi. Aku menjadi sangat bernafsu. Kuraih tubuh Indri ke tubuhku, menindih tubuhku.., dan untuk pertama kalinya bagiku.., sama-sama perempuan.. kami saling berpagut.. kami saling melumat bibir-bibir dan lidah-lidah kami. Dan saling menghisap dan menyedot ludah-ludah kami, seperti yang kulakukan pada suamiku atau pada suami orang lain yang pernah kulakukan dalam berbagai selingkuh rahasiaku..
Kami langsung berguling ke karpet ruang tamuku, dengan sangat agresif Indri merangsekku, lidahnya merambat ke leherku, ke dadaku. Blusku direnggutnya, wajahnya merangsek dadaku.., lidahnya menari-nari dan bibirnya menggigit-gigit kecil kemudian menyedot puting-puting payudaraku. Woowww.., aku terbakarr..
‘Mbak Marr.., Mbak Mar pernah beginii.. Mbakk??’.
‘Ooohh.. hheehh.. hhullpp..’, dia merintih dan terus meracau..
Aku sendiri tidak mampu lagi berfikir jernih, kuelus-elus kepalanya, rambutnya yang tergerai lepas kuraih agar tidak mengganggunya saat mengusel-usel dadaku yang sangat merangsang nikmat birahiku.. Kusaksikan kepala Indri seperti bergeleng dan bergeleng histeris, sepertinya ingin menekankan lebih dalam kulumannya pada payudaraku yang ranum ini.. Aiihh.., binalnya kamu Indrii..
Aku menikmatinya dalam kepasrahan. Aku tak ingin menggangu badai nafsu yang sedang melanda Indri.. kubiarkan saat-saat tangannya mulai menyibak rok bawahku. Disingsingkannya kain rokku, tangannya menjamah celana dalamku, mengelusnya. Uh, halusnyaa.. aku menggelinjang hebat, dan mulai mengeluarkan desahan yang tak lagi dapat kutahan-tahan. Kegelian dari permukaan vaginaku menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menggeliat-geliat. Indri semakin bersemangat. Tangannya merogoh celana dalamku. jari-jarinya mengelus bibir vaginaku.
Dengan bibir yang terus melumat buah dadaku serta menggigit puting susuku, jari-jari Indri mempermainkan kelentitku. Uhh, rasanya aku tenggelam dalam samudra kenikmatan yang tak terhingga.. Geliat-geliat tubuhku menggila disertai dengan rintihan yang disebabkan tak mampunya aku menerima kenikmatan yang datang melanda bak topan di lautan. Kujambak rambut Indri hingga menjadi awut-awutan. Dan Indri sendiri semakin kesetanan. Jari-jarinya berusaha menembus lubang vaginaku. Aku merasakan kegatalan sekaligus kenikmatan yang dahsyat. Bibir lubang vaginaku mengencang.., ingin ditembus tetapi malah merapatkan pintunya. Sungguh suatu ironi yang sangat.
Pada gilirannya dilepasnya kuluman di dadaku. Tangannya membuka lepas celana dalamku. Indri langsung menyorongkan mukanya ke pahaku. Ke selangkanganku. Wajahnya mengendus seluruh permukaan kemaluanku. Hidungnya menyergap aroma yang keluar dai kemaluanku. Dan lidahnya dengan segera menemukan lubang vaginaku. Langsung menjilatinya.
Aku sendiri menjadi mabuk penuh kenikmatan. Aku mengerang dan terus menggeliat. Kali ini aku menginginkan bibir Indri, lidah Indri, mulut Indri seluruhnya menelan kemaluanku. Aku angkat-angkat pantatku agar Indri dapat dengan cepat melahap semuanya. Aku ingin Indri cepat-cepat menghilangkan kegatalan yang menerpaku.
Aku dapat merasakan daerah vaginaku telah membasah. Cairan birahiku mengalir dengan deras sekali. Kudengar bibir Indri yang menjadi sibuk menyedot cairan itu. Kedengaran seperti anak-anak minum es krim dari tempatnya, menjilat-jilat, menyedot dan melahap hingga cangkir-cangkirnya ikut termakan. Aku merasakan Indri sedang ‘memakan’ kemaluanku.
‘Indrii.., aku tidak tahann.., oohh.., gatal sekallii.. Indrii..’.
Kudengar nafas Indri makin memburu. Hh.., hh, hh, hh, hh, hh.. Tangannya meliar. Dia melepas sendiri pakaiannya, dia renggut kancing celana dan menarik resluitingnya dan dengan serta-merta dilemparkannya ke lantai celana jeansnya. Kemudian dia rengkuh kaki kananku, ditarik dan ditungganginya. Dijepitnya kakiku di selangkangannya, diarahkannya jari kakiku. Diarahkannya jari-jari kakiku ke lubang vaginanya, dia desak-desakkan ke lubang vaginanya. Dia merintih, mengaduh, oohh.., hh.., hh..
Saat akhirnya lubang itu melahap ujung-ujung jari kakiku Indri, mulai melakukan gerak memompa. Dijadikannya jari-jari kakiku sebagai pengganti penis lelaki. Pantatnya naik turun menarik dan mendorong kemaluannya melahap jari-jari kakiku. Baru kali ini aku melihat perempuan sedemikian kehausan. Indri tidak lagi mempedulikan penampilannya. Dia tidak lagi merasa perlu menjaga penilaian orang lain terhadap dirinya.
Indri sedang dipacu oleh nafsu birahinya yang bergolak-golak seperti kawah gunung berapi yang hendak memuntahkan laharnya. Pantatnya yang semakin indah di mataku itu terus naik turun bak alun samudra.., terkadang dipercepat terkadang melambat mengikuti alir birahinya yang datangnya juga bergelombang-gelombang..
Hingga.. akhirnya dengan teriakan bak lolong serigala betina, ‘Mbak Marinii.. ma’afin akkuu.., oohh.., oohh.., oohh.. Maarriinii..’.
Indri meraih puncak kepuasan birahinya. Orgasmenya. Sesudah itu ia langsung rebah ke lantai. Kulihat keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, blusnya, rambutnya, pada tubuhku, bahkan pada karpetku. Aku sedemikian terpana oleh birahi yang baru saja menyerangnya.
Aku menyaksikan kepuasan tak terhingga pada Indri. Kubiarkan dia. Nafasnya tersengal-sengal. Pelan-pelan aku bangkit menuju dapur, pasti akan nikmat jika dalam panas Jakarta serta panasnya permainan birahi Indri yang melelahkan ini disegarkan dengan segelas besar orange juice dingin dari lemari esku.
Di depannya aku meminum beberapa teguk dari gelas itu. Kemudian kuserahkan padanya. Indri dengan penuh kehausan langsung menerima dan meminumnya hingga tandas habis. Kembali senyumannya merebak yang selalu diiringi dengan dekik lesung di pipinya.
‘Terima kasih, Mbak Mar, ohh.. thanks bangett.. untuk segala-galanya.. untuk.., nih.., nih.., nih.., nih.., nih.., nih..’, sekali lagi senyumnya mengembang dengan disertai gaya humor segarnya dengan tangannya menjamah bibir, leher, dada, paha, jari-jari kaki, jari-jari tangan dan vaginaku dengan kata-kata “nih.., nih.., nih..” itu.
Dan reaksiku sungguh tak kuduga sendiri, rasa ketersanjunganku, rasa kenikmatan yang kuterima darinya serta berbagai macam rasa yang tak mampu kuungkapkan mendorongku untuk kembali memeluk Indri. Kupeluk Indri dan aku menciuminya. Indri menyambut pelukan dan ciumanku. Kembali kami saling melumat.
‘Mbak Marini belum orgasme yaa?? Mau yaa..?’, dia berbisik ke telingaku.
‘He-eehh’, aku terlarut dan menjawab dalam gumam.
Indri melepas pelukanku, tangannya meraih kedua bahuku dan memandangku.
‘Mbak aku punya dildo. Persis deh mbak. Macam-macam bentuknya. Ada yang mirip punya orang bule, ada china, ada negro, ada coklat, putih. Nanti tinggal pilih saja. Mauu..?? OK, Mbak tunggu ya, biar aku ambil, nanti kita pilih-pilih..’, aku tidak menjawab, malu.
Aku malu untuk berterus terang bahwa aku sangat ingin melihat mainan ‘perempuan kesepian’ itu. Aku sendiri malu untuk mencoba-coba beli. Pertama takut ketahuan suami dam kedua yaa.., malulah datang ke tempat itu untuk membeli itu. Selama ini aku pecahkan saja dengan caraku yang aman dan mudah, ketimun.
Sekitar 10 menit kemudian Indri kembali dengan tas di tangan.
‘Nih Mbak, lihat saja. Pilih saja..’, aku keheranan saat dia membuka tas itu.
Dia tumpahkan beberapa benda-benda berbentuk penis. Ada yang biru, ada yang kuning, ada yang persis penis negro, hitam lengkap dengan urat-uratnya seperti yang aku pernah tonton di VCD.
‘Suamiku senang membawakan ini semua untukku. Oleh-oleh, dia bilang. Mungkin dia sangat tahu aku pasti kesepian sering ditinggalnya’.
Melihat kontol-kontol palsu berserakan di karpet rumahku, aku geli juga. Tetapi saat aku membayangkan bagaimana benda-benda itu bisa memberikan kenikmatan syahwatku, mukaku jadi memerah. Rasanya birahiku naik lagi. Libidoku tergoda.
‘Indri mau nggak bantu aku masak dulu. Nanti makan siang saja di sini yaa??’, aku mengajak Indri ke dapur.
‘Aku nggak tahan melihat dildo Indri tadi. Aku ingin ngerasain yang item gede tadi lhoo’, Indri cekikikan mendengar aku berbisik padanya.
‘Saya senang Mbak Mar udah mau ngomong gitu.., hi.., hi.., hi..’.
‘Khan Indri yang ngajarin..’, dengan wajah penuh gairah, kami saling merangkul pinggang menuju dapur.
Kami masak tumis kangkung. Ada sepotong daging ham di chiller lemari es-ku, Indri memasak sambal goreng pedas ala Menado.
‘Biar Mbak Marini galak’, komentarnya.
Kami makan sepiring berdua. Saling menyuapi. Dia mengunyah daging Menadonya kemudian mencaplok bibirku. Daging kunyahannya berpindah ke mulutku. Demikian pula aku sebaliknya. Kami juga minum dari satu gelas.
Waktu makan itu kami jadikan waktu untuk terus pemanasan untuk memenuhi kehausan seksual wanita-wanita yang sering ditinggal suaminya. Mas Adit suamiku, walaupun tidak merantau tetapi waktuku bersamanya sangat sedikit. Saat pulang larut dari kantornya, aku sudah demikian ngantuknya. Saat bangun pagi, dia langsung terburu-buru mandi untuk kembali ke kantornya. Saat hari-hari Minggu atau hari libur lainnya dia tinggalkan aku bermain golf dengan relasi-relasinya.
Suamiku akhirnya menjadi pria yang sangat egois. Menjadi suami yang hanya berpikir bahwa kebutuhan istrinya hanyalah harta, uang, harta, uang dan seterusnya. Bahkan saat kami sedang melangsungkan senggama tidak jarang terputus oleh HP-nya yang berdering, kemudian dia bangun bergegas memenuhi undangan lah, panggilan proyek lah, rapat mendadak lah atau sejuta alasan lainnya. Dan, bahkan pada saat benar-benar ada kesempatan yang longgar sekalipun ternyata memang dia kurang mampu memberikan kepuasan seksual pada istrinya. Hanya dalam waktu singkat, sebelum birahiku benar-benar hadir dan naik, dia telah muncrat-muncrat. Kontolnya langsung lemas. Saat birahiku datang merambati nafsu libidoku, Mas Adit sudah tidur ngorok di sampingku.
Sesaat setelah habis makan siang itu, bibirku dan bibir Indri langsung saling melumat. Tangan Indri langsung merogoh blusku. Dipeluknya tubuhku. Didorongnya aku bersandar ke dinding. Kali ini lumatan bibir Indri sungguh sangat nikmat. Lidahnya yang merasuki rongga mulutku meruyak, menjilati lidahku dan disusul dengan bibirnya yang menyedot ludahku.
Tanganku juga terbawa aktif. Kupeluk tubuhnya, aroma parfum Indri yang pasti mahal harganya, merangsang hidungku dan mengkatrol nafsu birahiku. Pelan-pelan aku menuntun pelukannya ke peraduan, ke ranjangku. Kemudian kami bergulingan di ranjang empuk itu. Baru kali ini aku gunakan ranjang pengantinku ini untuk berasyik masyuk bukan dengan suamiku atau dengan lelaki, tetapi dengan Indri yang sama-sama sebagai perempuan bersuami.
Aku dan Indri saling melepas pakaian. Aku buka celana jeansnya, dia buka rokku, aku tarik T-shirtnya, dia buka blusku, aku tarik celana dalamnya dia tarik pula celana dalamku. Begitu kami telah sama-sama berbugil ria, Indri langsung merangsek selangkanganku. Bibirnya mencari-cari vaginaku. Dan aku sendiri juga ingin mencoba kemaluan Indri.
Aku yang cukup berpengalaman selingkuh, mencuri kesempatan bercumbu dengan lelaki lain yang bukan suamiku, tidak begitu sulit beradaptasi. Kuraih paha Indri yang ‘getas’ itu. Aku dekatkan wajahku ke arah selangkangannya pula, kami ber-69. Indri asyik mengenyot vaginaku dan sebaliknya aku menjilati klitorisnya dan kemudian juga mengenyot kemaluannya. Aroma selangkangan Indri yang penuh wewangian sangat berbeda dengan aroma lelaki yang menebarkan aroma alami. Daya rangsang aroma Indri secara lembut dan halus meruntuhkan kesadaranku. Pelan tetapi pasti aku menenggelamkan diri dalam gairah birahi yang hebat. Aku mulai menggosok-gosokkan kemaluanku dan menekankan pada bibir Indri, demikian pula Indri padaku.
Kami saling melumat memek lawan cumbunya. Saat desakan hawa nafsu kami tak lagi terbendung, Indri berbisik, ‘Mbak Mar, kamu nungging yaa’, yang langsung kupenuhi. Aku ingin tahu kenikmatan macam apa yang akan diberikan oleh Indri padaku. Kurasakan wajahnya dibenamkan ke pantatku. Lidahnya menjilat tepi-tepi analku. Kemudian menusuk lubang anal itu. woowww.. Aku jadi ingat akan seorang partner selingkuhku, yang juga melakukan cara seperti ini.
Aku mengerang penuh nikmat. Kuarahkan tanganku untuk menjangkau kepala Indri. Saat kudapat, kutekan kepala itu agar lebih dalam tenggelam ke pantatku. Aku ingin lidah Indri menusuk lebih dalam ke duburku. Tetapi hanya sesaat.
Indri kemudian bangkit meninggalkan analku. Tangannya ganti meraih pinggulku. Kemudian kurasakan ada sesuatu yang mendorong-dorong bibir vaginaku. Saat kulihat, kusaksikan dildo besar hitam mencuat dari sabuk kulit yang di pakai di pinggang Indri. Kontol palsu itu siap menembus memekku. Rupanya dildo tiruan kontol negro itu sudah dioperasikan oleh Indri. Hatiku tersenyum geli. Selanjutnya aku pasrah..
Aku yakin Indri tahu apa yang akan diperbuatnya. Dia meludah pada dildo tersebut dan kembali menusukkan pada vaginaku. Aku membuka celah kemaluanku. Sedemikian inginnya aku merasakan kontol sebesar itu memenuhi liang surgaku. Sedikit demi sedikit Indri melesakkan dildo itu ke dalam vaginaku. Dan sedikit demi sedikit pula vaginaku menelannya. Rasa kegatalan dan nikmat yang hebat langsung melanda kemaluanku. Aku berteriak dan merintih..
‘Sakit mbakk ..??’, Indri menghentikan tusukkannya.
‘Enaakk Ndrii, teruss.., enaakk.. Terusinn.. masukkin semuanyaa..’.
Akhirnya seluruh panjang dildo yang tidak kurang dari 20 cm itu tertelan seluruhnya ke dalam kemaluanku. Ooohh.., rasanya tidak ada celah yang tersisa.. Dinding kemaluanku mencengkeram seluruh batang dildo itu dengan eratnya.., syaraf-syaraf peka dalam dinding itu berinteraksi.., batang dildo itu dicengkramnya.
Indri menarik sedikit dan kembali memasukkannyak .. dia melakukannya berulang-ulang. Dia memompa seperti lelaki memompakan kontolnya pada wanita. Aku dibuatnya kelimpungan. Nikmat yang tak terhingga menyergapku. Aku mendesah, merintih, meracau..
Indri yang rupanya tidak tahan mendengar racauanku, merunduk untuk menciumi bokongku dan kemudian membenamkan kembali hidungnya ke analku. Dia jilat analku, dia juga menyedoti lubangnya. Dan aku semakin menggila.. Semakin.., semakin, .. semakin..
Akhirnya kuraih orgasmeku.., aku tidak tahu lagi.., rasanya aku berguling saat orgasme itu datang.., kenikmatan dahsyat yang menimpaku membuatku lupa diri.., aku berteriak histeris, meracau histeris.. Caci maki dan umpatan kata-kata kotor penuh birahi keluar dari mulutku.. Belakangan Indri mentertawakanku, dia bilang aku yang cantik, ayu dan lembut ini bisa juga mengeluarkan kata-kata hina, seronok kasar dan kotor seperti itu.. Dia membayangkan betapa kenikmatan telah melandaku hingga kata-kata yang sedemikian kotor itu begitu saja meluncur dari mulut cantikku.., begitu katanya.
Itulah awal diriku mengenal dunia lesbian. Sejak itu aku dan Indri sering bercumbu. Saat suamiku berangkat kerja, tak jarang permainan dilangsungkan di rumahku. Atau di rumahnya, yang rata-rata hari-harinya dilewatkan sendirian.
Lama kelamaan aku semakin banyak melihat perempuan yang cantik. Sesekali kami, aku dan Indri sepakat untuk mencari partner yang ke-3. Kami ingin bercumbu bertiga. Dengan siapaa yaa..?? Kapaann yaa..??,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,